Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
Dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam.Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam
teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:
1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka
tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
dalam memahami wahyu.Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan
konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan
kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
l-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.
Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet.Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di
zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.
Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat
emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi
melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.
Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,
apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.