George Wilhelm Friedrich Hegel, demikian nama aslinya, lahir di Stuttgart pada 27 Agustus 1770. Belajar teologi di Universitas Tubingen hingga meraih doktor pada 1791. Ketika itu, karya tulisnya masih bertaut dengan agama Kristen, misalnya The Life of Jesus dan The Spirit of Chiristiany (Tafsir, 2004: 152). Hegel mulai menekuni filsafat ketika pada 1801 bertemu dengan Schelling di Universitas Jena, dan turut mengajar mata kuliah Filsafat di sana, hingga jerih payahnya membuahkan karya filsafat pertama berjudul The Difference Between Fichte’s and Schelling’s Systems of Philosophy (http://plato.stanford.edu, 2008).

Perjumpaan dengan karya-karya Friedrich Hölderlin (1770-1843) dan Friedrich von Schelling (1775-1854), diakui Hegel, cukup mempengaruhi pergulatan intelektual dan tradisi filsafatnya. Tidak begitu mengejutkan bila Hegel sempat menyebut keduanya sebagai pemikir besar Filsafat Jerman abad 19. Berkat hubungan erat tersebut, pada 1803, bersama Schelling, Hegel mengedit Critical Journal of Philosophy. Tahun 1906 Hegel berhasil menyelesaikan karya utamanya, Phenomenology of Spirit, dan dipublikasikan pada tahun berikutnya. Dalam karya ini, pemikirannya nampak amat berbeda dengan pendekatan Schellingian. Schelling sendiri menganggap kritik tajam Hegel dalam pengantar Phenomenology ditujukan padanya. Dan sejak saat itu persahabatan mereka kandas di tengah jalan (http://plato.stanford.edu, 2008).

Tahun 1808-1815 Hegel dipercaya sebagai kepala sekolah dan guru Filsafat di Gymnasium, Nuremberg. Selama di sana ia menikah, memulai hidup berkeluarga, dan menerbitkan Science of Logic. Pada tahun 1816 ia kembali ke universitas dengan menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Heidelberg. Dua tahun berikutnya menjadi Guru Besar di Universitas Berlin. Sejak saat itu, nama Hegel semakin tersohor di dunia Filsafat Jerman. Dan ketika berada di Heidelberg itulah, Hegel mempublikasikan Encyclopaedia of the Philosophical Sciences, sebuah karya sistematik versi ringkasan dari Science of Logic (Encyclopaedia Logic atau Lesser Logic). Berikutnya, Hegel menerbitkan Philosophy of Nature dan Philosophy of Spirit, sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam Science of Logic (http://plato.stanford.edu, 2008).

Di tahun 1821, ketika berada Berlin, Hegel mempublikasikan karya utamanya dalam bidang filsafat politik, Elements of the Philosophy of Right, berdasarkan materi kuliah yang ia berikan di Heidelberg. Namun akhirnya nampak begitu jelas, dasar argumentasi dalam karya ini berasal dari objective spirit karya Encyclopaedia Philosophy of Spirit. Selepas 10 tahun menetap di Berlin, hingga meninggal pada 14 November 1831, manuskrip berikutnya dari karya Encyclopaedia, diterbitkan. Selepas kematiannya, kumpulan materi kuliah Hegel tentang philosophy of history, philosophy of religion, aesthetics, dan history of philosophy, juga turut dipublikasikan (http://plato.stanford.edu, 2008).

“The Philosophy of History” atau(kah) “Philosophical History”

“Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real”

Pernyataan Hegel ini, cukup beralasan karena ia memulai pandangan metafisiknya dari rasio. “Ide yang bisa dimengerti” itu setali tiga uang dengan “kenyataan”. Selalu mengalami proses dialektika (Hamersma, 1983: 42). Tentu karena ia seorang idealis, pandangan akan urgensitas rasio ini begitu mendominasi dalam setiap jejak filsafatnya. Namun, perlu diuraikan, bahwa rasio disini bukan bermakna rasio manusia perseorangan, sebagaimana mengemuka dalam pandangan kita selama ini, melainkan rasio subyek absolute yang menerima kesetaraan ideal seluruh realitas dengan subyek. Kesetaraan antara “rasio” atau “ide” dengan “realitas” atau “ada”. Dan realitas utuh, sebagaimana dikehendaki Hegel, adalah proses pemikiran (idea) yang terus menerus memikirkan, dan sadar akan dirinya sendiri. (Tafsir, 2004: 152).

Apa yang benar, bagi Hegel, adalah perubahan itu sendiri. Oleh karenanya, konsep filsafatnya menjadi amat relatif dan bersifat historis. Mulai dari sinilah, lalu istilah “sejarah” begitu populer dalam filsafat Hegel (Tafsir, 2004: 153). Hegel percaya bahwa sejarah adalah kepastian absolute yang akan diperoleh dengan mengkompromikan perbedaan-perbedaan ke dalam satu sistem integral yang dapat mewadahi segala-galanya. Hegel ingin meleburkan berbagai perbedaan dalam sistem metafisiknya ke dalam satu sintesis universal, yakni Aufhebung. Aufhebung ini dapat berupa apa saja: Negara, Masyarakat, Pasar, atau institusi apa pun yang merupakan kompromi dari perbedaan-perbedaan. Hegel membayangkan adanya suatu sistem yang secara metafisik dapat memayungi segala anasir yang berbeda dan merangkulnya menjadi satu. Penalaran dialektis Hegel ini melihat perbedaan sebagai ancaman yang harus ditanggulangi dengan mengintegrasikannya ke dalam suatu pola yang koheren dan stabil. Dalam pandangan Hegel, kemungkinan-kemungkinan direpresi sedemikian rupa dengan menyajikan gambaran yang sepenuhnya pasti tentang masa depan. Hegel sendiri memandang filsafat dan metafisika haruslah memberi kepastian kepada manusia modern. Kepastian ini diperlukan agar mereka dapat melangkah menuju masa depan dengan langkah yang tepat dan terukur (Fayyadl, 2005: 209).

Untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang uraian di atas, berikut akan kita bagi model pemikiran Filsafat Sejarah Hegel menjadi dua karakter—mengikuti keterangan perkuliahan “Filsafat Sejarah” oleh Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin:

Filsafat Sejarah Formal—Hegel’s Philosophy of History—pen.

a. Budi (Vernunft)

Pusat filsafat Hegel ialah konsep Geist, bermakna “roh” atau “spirit”. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, konkret, kekuatan yang obyektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), dan yang terdapat pada obyek-obyek khusus. Dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan esensi sejarah manusia (Tafsir, 2004: 152). Dengan demikian, kita bisa mengerti bahwa seluruh proses dunia merupakan suatu perkembangan Roh. Konsisten dengan hukum dialektika—akan dijelaskan nanti, perkembangan Roh senantiasa menuju kepada Yang Mutlak, tahap demi tahap (Hadiwijono, 2005: 101).

Lebih tegasnya, perkembangan Roh bisa dipetakan menjadi tiga tahap (Hadiwijono, 2005: 101-5). Pertama, roh subyektif, menjelaskan bahwa setiap orang masih bertaut erat dengan alam. Pada masa ini, roh mulai bergeser dari “berada-di-luar-dirinya” menuju “berada-bagi-dirinya”. Namun, karena ia belum benar-benar berpindah “bagi-dirinya”, karenanya ia tidak dapat ditukar dengan yang lain. Maksudnya, manusia masih sebagai bagian dari alam karena ia hanya menampakkan drinya sebagian, belum sepenuhnya.

Kedua, roh obyektif, menjelaskan bahwa bentuk-bentuk alamiah yang terkandung dalam roh subyektif diperluas, atau lebih tepatnya direalisasikan, ke dalam wilayah yang lebih konkret. Kehendak rasional yang tadinya besifat individual dibahasakan secara obyektif ke dalam bentuk yang lebih universal. Karena sebab inilah, roh obyektif lebih dominan mengandung unsur-unsur etika, misalnya kesusilaan, moralitas, dan hukum. Unsur-unsur etika dari roh obyektif tadi semakin menemukan tempatnya ketika terjadi pertemuan roh subyektif menuju tingkat yang lebih dewasa dalam keluarga, masyarakat, dan Negara, serta tentu saja sejarah; tempat ketiganya berkembang sebagai proses pertemuan antara idealitas dan realitas.

Begitu proses pertemuan antara idealitas dan realitas, yang terbahasakan dalam “Negara”, mengalami titik klimaksnya, maka Roh akan tiba di tahap paling puncak, Roh Mutlak, yaitu masa dimana Roh telah sungguh-sungguh “berada dalam dirinya dan bagi dirinya” secara utuh dan penuh. Kulminasi ketegangan antara roh subyektif (individu) dan roh obyektif (kekuasaan Negara) seketika lenyap melebur dalam Roh Mutlak. Bermuara dari asumsi ini, lalu Hegel menyebut filsafatnya dengan idealisme mutlak, sebagai peretas kulminasi ketegangan antara idealisme subyektif Fichte dan idealisme obyektif Schelling.

b. Dialektika

Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak menyinggung triadik Hegel: tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh tentang ketiga hal ini, ada baiknya kita pahami walau selintas, istilah “ide” dan “dialektika” sebagai dasar pemahaman awal kita menuju pengertian tiga istilah di atas.

Sebagaimana tersirat dalam uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu “irama” yang memerintahkan seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej Krauze, dialektika bukan merupakan “metode” atau suatu sistem yang prinsip, sebab yang menyebabkan ia begitu rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya mudah dimengerti dalam hal yang bersifat konkret (http://marxists.org, 2008). Barangkali karena alasan demikian , Hegel tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa antara “idealitas” dan “realitas” tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh Hadiwijono, justru dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa pengertian-pengertian dan kategori-kategori sebenarnya bukan hanya yang menyusun pemikiran kita, melainkan suatu kenyataan sebagai kerangka dan hakikat dunia dalam pikiran (Hadiwijono, 2005: 101). Dengan demikian, dialektika dapat kita pahami sebagai usaha mendamaikan dan mengompromikan hal-hal yang berlawanan (Tafsir, 2004: 153). Kendatipun lalu akan kita ketahui, bahwa sistem inilah yang akhirnya menjadi kelemahan Hegel karena terlalu memaksakan dialektika terhadap segala sesuatu. Dan dari sini, semakin nampak bahwa suatu perbedaan, pada hakikatnya akan menjadi ancaman serius dalam filsafat Hegel.

Hal yang membedakan dialektika Hegel dengan logika Klasik adalah pada logika klasik tidak dipercayainya prinsip kontradiksi, sedangkan dalam konsep dialektika Hegel dimungkinkan. Hegel percaya bahwa kontradiksi dialektik adalah titik sentral dalam pemahaman alam. Dan kontradiksi itu ia simbolkan melalui triadik dealektik: tesis, antitesis, dan sintesis.

Simak kerangka dialektika Hegel dalam dalam rantai tesis, sintesis dan antitesis sebagaimana telihat dalam gambar berikut:

Tesis X Antitesis

Sintesis à Tesis X Antitesis

Sintesis…….


Ilustrasi gambar di atas daapat kita jelaskan dengan menyimak masing-masing pengertian tiga istilah triade tersebut. Pertama, tesis, merupakan “yang ada”. Sebagai pengertian umum, maka ia lepas dari segala isi yang konkret. Tidak memuat apa-apa dan tidak dapat dijelaskan bagaimanana. Ketiadaan pengertian yang jelas dari tesis ini melahirkan triade kedua, sintesis, atau “yang tidak ada”. Triade terakhir ini mengandung pengertian yang sama dengan tesis, artinya perngertian yang tidak dapat dimengerti bagaimana. Begitu kebuntuan erjadi di masing-masing triade, maka muncullah sintesis atau “yang menjadi” sebagai titik sentuh dari tesis dan sintesis. Namun ternyata proses dialektika itu tidak berhenti sampai titik ini. Pengertian “menjadi” ini mengandung pengertian “yang menjadikan”. Karenanya, “yang ada”, karena “menjadi”, berada sebagai “yang terbatas”. Adanya sesuatu “yang terbatas” ini bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan suatu “yang tidak terbatas”, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan sistesis baru sebagai aufhebung (Hadiwijono, 2005: 102).

Kata aufhebung atau aufheben dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang dikenal dengan fase sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti terjadinya negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah lewat dan tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis dinegasikan, tetapi kebenaran daripada tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna. (Cyril Smith, http://marxists.org, 1999)

2. Filsafat Sejarah Material—Hegel’s Philosophical History—pen.

The history of philosophy is the history of free, concrete thought – which is to say, of reason. Free concrete thought is concerned only with itself. Nothing can be called reason which is not the result of thinking – not, however, of abstract thinking, for that is the thinking proper to understanding, but of concrete thinking, which is reason.

On the whole, then, we have two philosophies: (1) Greek and (2) Germanic. With regard to the second of these we must distinguish between the period in which it makes its appearance as philosophy and the period of preparation. We can begin to deal with Germanic philosophy only at the point where it makes its appearance in a form peculiar to itself. Between the two great periods, then, lies a middle period, one of fermentation.

The point at which we now stand is the result of all the work that has been done over a period Of 2300 years; it is what the World-Spirit has brought before itself in its thinking consciousness. We should not wonder at the slowness of this. Universal, knowing Spirit has time, it is not in a hurry; it has at its disposal masses of peoples and nations whose development is precisely a means to the emergence of its consciousness. Nor should we become impatient because particular insights are not brought out at this time but only later, or that this or that is not yet there – in world-history advances are slow. Thus, insight into the necessity of such a long time is a remedy for our impatience.

We have, then, to consider three periods in the history of philosophy: (1) Greek philosophy from Thales, about 600 B.C. (Thales was born in either 640 or 629 B.C. and died in either the 58th or 59th Olympiad, i.e., about 550 B.C.), to the Neoplatonists, among whom was Plotinus who lived in the third century after Christ. It can be said, however, that this period stretched into the fifth century, at which time on the one hand all pagan philosophy is at an end – a fact which is connected with the great migration and the downfall of the Roman Empire (the death of Proclus, last of the great Neoplatonists, is put in A.D. 485 and the sack of Rome under Odoacer in 476) – whereas on the other hand Neoplatonism continues without interruption in the work of the Church Fathers – many philosophies within Christendom have as their only foundation Neoplatonism. The time-span, then, takes in about 1000 years. (2) The second period is that of the Middle Ages, the period of fermentation and of preparation for modern philosophy. Here belong the Scholastics. There are also Arab and Jewish philosophies to be mentioned, but the most important ones were those of the Christian Church. This period, too, lasts about 1000 years. (3) The third period, when modem philosophy makes its formal appearance, does not begin until the time of the Thirty Years’ War, with Bacon (d. 1626), Jakob Boehme (cL.1624), or Descartes (d. 1650). With Descartes thinking began to enter into itself. “Cogito ergo sum” are the first words of his system; and it is precisely these words which express the difference between modem philosophy and all that preceded it.

Source: Hegel’s Idea of Philosophy, by Quentin Lauer, S.J. with a new translation of Hegel’s Introduction to the History of Philosophy;
Translated: from Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Einleitung in die Geschichte der Philosophie, Hamburg, 1940.

Bagi Hegel, sejarah dunia filsafat, sebagaimana tertulis dalam The Philosophy of History, dibagi menjadi 4 periode. Pertama, The Oriental World, meliputi antara lain bagian China, India , India Buddhism, Persia. Kedua, The Greek World, meliputi: The Elements of the Greek Spirit, Phases of Individuality Æsthetically Conditioned (The Subjective Work of Art, The Objective Work of Art, The Political Work of Art: The Wars with the Persians, Athens, Sparta, The Peloponnesian War, The Macedonian Empire, The Fall of the Greek Spirit). Ketiga, The Roman World : Rome to the Time of the Second Punic War (The Elements of the Roman Spirit, The History of Rome to the Second Punic War), Rome from the Second Punic War to the Emperors, Rome Under the Emperors, Christianity, The Byzantine Empire. Keempat, The German World: The Elements of the Christian German World (Hegel, 2001: 3-4)